News

ASB Desak Penegakan UU TPKS dalam Kasus Kekerasan Seksual di Simalungun

19
×

ASB Desak Penegakan UU TPKS dalam Kasus Kekerasan Seksual di Simalungun

Sebarkan artikel ini

rel="Dofollow">>

MEDAN – Aliansi Sumut Bersatu (ASB) melalui Rumah Aman Peduli Puan menyayangkan sikap aparat penegak hukum di Kabupaten Simalungun yang tidak menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Padahal undang-undang tersebut penting sebagai upaya untuk memastikan terpenuhinya hak-hak korban dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan.

Hal itu dikatakan Direktur ASB, Ferry Wira Padang, terkait tiga kasus pelecahan seksual terhadap anak perempuan di Kabupatena Simalungun yang pelakunya divonis tidak mencerminkan rasa keadilan dan tidak mencantumkan UU TPKS.

“Hal ini terjadi akibat vonis yang diberikan saat sidang putusan tidak mencerminkan keadilan dan keseriusan Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pengadilan Negeri Simalungun dalam merespon aduan hingga pendapat kami sebagai pendamping. Kami kecewa vonis yang rendah terhadap pelaku dan implementasi UU TPKS dalam mengcover kebutuhan korban tidak di juncto (jo) kan dalam ketiga kasus ini,” ujar Ferry, kepada wartawan, Jumat (14/3/2025).

Ferry menyebutkan beberapa kasus pelecehan seksual yang mereka tangani dan tidak mendapatkan perlindungan UU TPKS. Seperti kasus pelecehan seksual engan korban anak, AH, pada 12 Mei 2024. Korban difoto telanjang dan pelaku memegang alat kemaluannya. Kasus ini telah dilaporkan ke polisi dengan
LP Nomor : LP/B/127/V/2024/SPKT/POLRES SIMALUNGUN/POLDA SUMATERA UTARA pada tanggal 14 Mei 2024.

Dalam proses hukum hingga ke persidangan, jaksa dari Kejari Simalungun dan hakim dari Pengadilan Negeri Simalungun tidak menjalankan peraturan untuk melindungi korban. Salah satunya saat sidang dengan agenda pengambilan keterangan saksi, korban dan pelaku terdapat di dalam satu ruangan dengan korban, sehingga hal tersebut membuat korban merasa tidak nyaman dan tidak leluasa dalam menyampaikan keterangan. Tidak
hanya itu, hal tersebut juga membuat trauma korban kembali.

“Selain itu vonis yang dijatuhkan terhadap pelaku hanya diterapkan Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang RI No.1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penuntut Umum awalnya menuntut 5 tahun penjara dan majelis hakim memvonis 6 tahun penjara denda sebesar Rp80.000.000, subsidair 6 bulan kurungan,” jelasnya.

Ferry menyebut dalam salinan putusan yang diterima pada 12 Maret 2025, pelaku dan penasihat hukum terdakwa ada tertulis, menyebutkan bahwa antara pihak keluarga korban dan pelaku telah melakukan perdamaian, namun hal ini jauh sebelum video dan foto korban diketahui oleh keluarga korban.

Kemudian, kasus Korban NI dan SIF, dua orang anak berusia 8 dan 12 tahun pada 6 September 2024.
Keduanya menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh tetangganya di Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun. Pencabulan itu tidak hanya dilakukan hanya sekali oleh
tetangganya tetapi berulang kali mulai tahun 2022.

Kasus ini juga dilaporkan ke Polres Simalungun dengan LP nomor : LP/B/259/IX/2024/SPKT POLRES
SIMALUNGUN/ POLDA SUMUT atas laporan W (Ibu SIF) dan LP/B/258/IX/2024/SPKT/POLRES SIMALUNGUN/POLDA SUMUT atas laporan RA (ayah NI) melaporkan pelaku Paimin.

“Dalam kasus ini, lagi-lagi jaksa penuntut umum (JPU) dan hakim tidak menerapkan juncto UU TPKS dan hanya menggunakan UU Perlindungan Anak. Di mana, pelaku P untuk kasus NI divonis 6 tahun penjara dan untuk kasus SIF pelaku dihukum 5 tahun penjara,” ungkapnya.

Ferry mengatakan telah melakukan upaya-upaya yang dilakukan oleh Tim Pendamping Rumah Aman Peduli Puan
ASB, dalam mengawal kasus ini. Pada 11 November 2024 telah melakukan audiensi kepada Kapolres Simalungun yang menerima Kanit PPA Polres Simalungen adapun agenda audiensi membahas terkait UU TPKS untuk persidangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Kami juga sudah menyurati atensi terhadap pemantauan sidang kasus ini kepada beberapa lembaga seperti KOMNAS, Komisi Yudisial, LPSK, dan KPAI. Namun yang merespon hanya KOMNAS (melakukan pertemuan via zoom tetapi surat rekomendasi untuk rujukan pemulihan trauma anak terdekat dengan wilayah korban dan komunikasi lebih lanjut perihal ini belum ada) dan KPAI (tidak ada tindak lanjut),” sebutnya.

ASB, lanjut Ferry, juga mengirim Surat amicus curiae pada 07 Maret 2025, yang mana saat itu terdiri dari beberapa jaringan diantaranya LBH Medan, LBH Pers Jakarta, PKPA, Bakumsu, dan
Perempuan Hari Ini (PHI). Namun hal ini masih belum menjadi perhatian untuk PN Simalungun dalam putusan yang dilayangkan pada 10 Maret 2025.

“Tim Rumah Aman Peduli Puan ASB juga memberikan surat aduan terkait putusan tersebut kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dan Ketua Pengadilan Negeri Simalungun. Namun hingga kini belum ada tanggapan yang pasti terhadap aduan yang sudah dikirimkan,” bebernya.

Maka dari itu, ASB meminta aparat penegak hukum di Kabupaten Simalungun untuk menggunakan UU TPKS
untuk penanganan kasus kekerasan seksual sebagai upaya memastikan terpenuhinya hak
korban.

“Kejari Simalungun harus lebih berkomitmen untuk mendampingi korban kekerasan seksual memperoleh keadilan hukum dan mengajukan banding. PN Simalungun seharusnya menciptakan rasa nyaman dan memperhatikan prinsip – prinsip proses peradilan untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak. Polres Simalungun, memiliki prespektif untuk memastikan keadilan terhadap anak korban kekerasan seksual,” pungkasnya. (RED)